Wilayah Kasepuhan Cicarucub berada di Desa Neglasari, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak Provinsi
Banten, Republik Indonesia. Keberadaan Kasepuhan Cicarucub sudah lima generasi. Kelima generasi ini merupakan estafet
kepemimpinan Olot yang tinggal di Rompok Olot (Bumi Adat) sebagai ketua adat
yang sekarang sudah yang kelima. Dari kelima generasi Olot yang menempati
Rompok adat ini hanya dua yang diketahui namanya yaitu yang sekarang sesepuh
adat, Olot Enjay dan satu generasi sebelumnya yaitu Olot Dulhana. Tiga olot
sebelumnya tidak diketahui namanya, karena bagi warga menyebutnya itu adalah
tabu atau sesuatu yang tidak boleh. Ketidaktahuan mereka terhadap ketiga nama
olot terdahulu dikarenakan adanya kekhawatiran dari leluhur sebelumnya berkaitan
dengan keselamatan pemimpin mereka. Karena berkaitan dengan prajurit atau
pasukan khusus Kerajaan Pajajaran yang melarikan diri dari Pakuan Bogor ketika
digempur habis-habisan oleh prajurit dari Banten dan Demak.
Wakil Olot atau Juru Basa
Wilayah yang masuk ke dalam komunitas masyarakat
Kasepuhan Cicarucub terbagi menjadi tiga daerah yaitu Kampung Cicarucub Girang,
Kapung Cicarucub Tengah, dan Kampung Cicarucub Hilir. Ketiga kampung ini berderet
dari arah Utara ke Selatan.
Jalan Menuju Kasepuhan Cicarucub
Kepercayaan atau sistem religi pada masyarakat Kasepuhan
Cicarucub diwarnai oleh dua unsur yaitu agama dan kepercayaan terhadap nenek
moyang. Mereka menganut agama Islam dan mereka juga masih mempertahankan dan
melaksanakan kepercayaan warisan leluhurnya (nenek moyang). Kepercayaan
tersebut direalisasikan kedalam adat istiadat masyarakat Kasepuhan Cicarucub
yang khas. Agama dan kepercayaan
terhadap leluhur menjadi pedoman hidup mereka sebagai warga masyarakat Kasepuhan
Cicarucub. Kedua unsur tersebut berjalan harmonis dalam kehidupan sehari-hari.
Ajaran
Islam bagi masyarakat Kasepuhan Cicarucub diyakini kebenarannya sebagai pedoman
hidup mereka. Mereka mengimani ajaran agama Islam serta merealisasikannya dalam
kehidupan sebari-hari. Aktualisasi ajaran agama Islam dilaksanakan baik secara
individu maupun secara kolektif. Pelaksanaan secara individu misalnya merka
harus selalu berbuat kebaikan, mendirikan salat, mengaji, dan aktivitas
keagamaan lainnya baik yag dilakukan di rumah maupun di masjid. Ibadah yang
dilaksanakan secara individu merupakan ekspresi hubungan kedekatan antara
pribadinya dengan Tuhan. Hal ini merupakan wujud tanggung jawab terhadap
kewajibannya sebagai pemeluk agama Islam.
Masyarakat Kasepuhan Cicarucub memiliki konsep bahwa
wilayahnya terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu wilayah mata air, tanah titipan,
dan tanah tutupan. Wilayah mata air adalah sebuatan wilayah yang memiliki
sumber mata air, yang sangat membantu sumber hidup sehari-hari warga kasepuhan.
Wilayah ini sangat dijaga kelestarian dan keberadaannya oleh warga.
Tanah
titipan adalah tanah pemberian dari Ratu atau Karuhun, yang harus dijaga kelestarian lingkungannya, tidak boleh
dieksploitasi oleh siapapun tanpa seizin Olot. Penggunaan tanah ini dapat
dilakukan jika mendapatkan wangsit dari karuhun
yang diterima Olot. Tanah titipan harus dimumule
(dipelihara), jangan dirusak. Atas seizin Olot di tanah titipan ini warga bisa
membangun rumah, asal tetap merujuk pada ketentuan-ketentuan adat yang berlaku.
Tanah
tutupan adalah tanah milik pemerintah (perhutani), berupa hutan lebat yang
ditutupi pohon-pohon besar dan kecil. Kawasan ini merupakan kawasan cagar alam
yang harus dijaga kelestarian lingkungannya. Tanah yang dilindungi, milik Taman
Nasional Gunung Halimun yang merupakan atau dijadikan konservasi air.
Masyarakat
Kasepuhan Cicarucub memiliki pola-pola dalam menata perkampungannya. Pola
perkampungannya berkaitan erat dengan unsur-unsur kepercayaan yang dianut oleh
masyarakatnya.
Pola
perkampungan masyarakat Kasepuhan Cicarucub sangat unik. Rumah-rumahnya
tersusun dari arah utara ke Selatan secara berlapis-lapis, dan yang menjadi
pusat adalah Bumi Karuhun atau lebih dikenal dengan sebutan Rompok Adat, yaitu
rumah tempat tinggal sesepuh adat atau Olot dan rumah tempat tinggal Juru Basa.
Rumah-rumah di wilayah Kasepuhan Cicarucub ini harus menghadap arah
Timur-Barat.
Rompok
Adat pertama yang ditempati Olot bangunannya lebih besar dibandingkan dengan
bangunan yang kedua serta berada dalam sebuah area yang berhalaman luas, dengan
dibatasi pagar terbuat dari bambu di sekelilingnya. Halaman atau buruan yang
luas tersebut dalam keseharian digunakan untuk menjemur hasil budidaya
pertanian, pakaian, bermain anak-anak. Namun pada saat-saat tertentu digunakan
pula untuk berbagai upacara adat. Buruan Rompok Adat digunakan secara maksimal
untuk kegiatan-kegiatan tersebut. Misalnya upacara Seren Taun yang biasa
dilaksanakan setahun sekali dan merupakan puncak acara adat bagi warga
kasepuhan sebagai masyarakat agraris.
Rompok
adat kedua yang ditempati juru basa berada di sebelah Barat, di area yang lebih
rendah dari area Rompok Adat Olot, sehingga jika akan menuju ke sana harus
menggunakan jalan tangga yang menurun.
Sementara
itu rumah warga yang berada di area yang lebih rendah lagi dari Rompok Adat
Juru Basa dibagi dalam dua lapis atau kategori. Lapisan pertama dengan arah ke
sebelah Selatan dari Rompok Adat yang hanya dibatasi oleh jalan kecil atau gang
sampai saluran air yang menuju ke Cai Ageung. Wilayahnya dari batas kali
Cibitung ke arah kali Cimanganten. Pada lapisan ini rumah-rumahnya harus
panggung; tidak boleh menggunakan atap genting; lantai rumah tidak boleh
ditembok, kecuali bagian luar rumah atau teras. Masin
g-masing rumahnya pun di dalamnya tidak boleh ada tempat buang air (kecil maupun besar). Jadi, mereka menggunakan bahan-bahan seperti seng, bambu, kiray, dan kayu untuk membuat rumah. Adapun untuk buang air kecil dan besar mereka pergi ke empang atau kolam. Cai Ageung adalah solokan agak besar atau sungai kecil di hilir (di sebelah kulon ’Barat’), tempat menyatunya aliran air dari solokan-solokan kecil atau saluran-saluran pembuangan air warga.
g-masing rumahnya pun di dalamnya tidak boleh ada tempat buang air (kecil maupun besar). Jadi, mereka menggunakan bahan-bahan seperti seng, bambu, kiray, dan kayu untuk membuat rumah. Adapun untuk buang air kecil dan besar mereka pergi ke empang atau kolam. Cai Ageung adalah solokan agak besar atau sungai kecil di hilir (di sebelah kulon ’Barat’), tempat menyatunya aliran air dari solokan-solokan kecil atau saluran-saluran pembuangan air warga.
Pada
rumah lapisan pertama ini, pemilik rumah boleh melengkapi rumahnya dengan
penerangan listrik, televisi, parabola, dan jendela berkaca. Jadi, dapat
dikatakan rumah pada lapisan pertama merupakan rumah-rumah pada masa transisi.
Artinya, sebagian harus mempertahankan adat istiadat karuhun, sebagian lagi
sudah mendapatkan kelonggaran. Warga menyebut rumah semi permanen tersebut
dengan sebutan imah biasa.
Lapisan
kedua dengan arah Selatan dari lapisan pertama saluran air hingga ke Cai
Ageung, batasannya kali Cibitung-Kali Ciratra. Warga pada lapisan ini diberi
kebebasan dalam membangun rumah, seperti halnya masyarakat pada umumnya. Jadi
rumah-rumah warganya boleh beratap genting, seng, papan, kayu teureup,
bangunannya bertingkat, memiliki peralartan elektronik, bahkan kendaraan beroda
empat. Warga menyebut rumah permanen tersebut dengan sebutan gedong. Tak heran,
di wilayah ini rumah panggung dianggap sebagai rumah orang yang kurang mampu.
Jumlah rumah pada lapisan kedua ini ada 15 (lima belas) buah. Jika kemudian ada
warga yang ingin membangun rumah, Olot akan mengizinkan. Itupun jika masih ada
lahannya dan arsitektur bangunan rumahnya harus bentuk asli.
Wilayah Kasepuhan
Cicarucub pun memilik pemakaman umum. Menjadi suatu ketentuan adat, letak
pemakaman ini harus berada di sebelah Timur dan Barat Rompok Adat. Sama halnya
dengan letak dan posisi rumah warga tidak boleh dibangun di sebelah Timur
Rompok Adat. Posisi demikian disebut ngalangkangan
’melangkahi’. Ngalangkangan merupakan
suatu hal yang ditabukan bagi masyarakat Kasepuhan Cicarucub. Jika dilanggar,
maka kehidupan pelanggarnya dipercaya akan selalu mengalami kesulitan.
Kumpulan Leuit di Cicarucub Girang
Selanjutnya
leuit, sebagai tempat penyimpanan padi, letaknya tidak di
lingkungan rumah warga tetapi di suatu tempat dan berkelompok. Sekaligus di
sana pun terdapat lesung ’alat untuk menumbuk padi’, yang biasa digunakan para
ibu secara bersama-sama. (Diambil dari berbagai sumber).