Kamis, 06 Juni 2013

Kasepuhan Cicarucub Lebak Banten


          Wilayah Kasepuhan Cicarucub berada di Desa Neglasari, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak Provinsi Banten, Republik Indonesia. Keberadaan Kasepuhan Cicarucub sudah lima generasi. Kelima generasi ini merupakan estafet kepemimpinan Olot yang tinggal di Rompok Olot (Bumi Adat) sebagai ketua adat yang sekarang sudah yang kelima. Dari kelima generasi Olot yang menempati Rompok adat ini hanya dua yang diketahui namanya yaitu yang sekarang sesepuh adat, Olot Enjay dan satu generasi sebelumnya yaitu Olot Dulhana. Tiga olot sebelumnya tidak diketahui namanya, karena bagi warga menyebutnya itu adalah tabu atau sesuatu yang tidak boleh. Ketidaktahuan mereka terhadap ketiga nama olot terdahulu dikarenakan adanya kekhawatiran dari leluhur sebelumnya berkaitan dengan keselamatan pemimpin mereka. Karena berkaitan dengan prajurit atau pasukan khusus Kerajaan Pajajaran yang melarikan diri dari Pakuan Bogor ketika digempur habis-habisan oleh prajurit dari Banten dan Demak.     
Olot Enjay, Ketua Adat Kasepuhan Cicarucub
Wakil Olot atau Juru Basa
         Wilayah yang masuk ke dalam komunitas masyarakat Kasepuhan Cicarucub terbagi menjadi tiga daerah yaitu Kampung Cicarucub Girang, Kapung Cicarucub Tengah, dan Kampung Cicarucub Hilir. Ketiga kampung ini berderet dari arah Utara ke Selatan.
 
 Jalan Menuju Kasepuhan Cicarucub
           Kepercayaan atau sistem religi pada masyarakat Kasepuhan Cicarucub diwarnai oleh dua unsur yaitu agama dan kepercayaan terhadap nenek moyang. Mereka menganut agama Islam dan mereka juga masih mempertahankan dan melaksanakan kepercayaan warisan leluhurnya (nenek moyang). Kepercayaan tersebut direalisasikan kedalam adat istiadat masyarakat Kasepuhan Cicarucub yang khas. Agama dan kepercayaan terhadap leluhur menjadi pedoman hidup mereka sebagai warga masyarakat Kasepuhan Cicarucub. Kedua unsur tersebut berjalan harmonis dalam kehidupan sehari-hari.
            Ajaran Islam bagi masyarakat Kasepuhan Cicarucub diyakini kebenarannya sebagai pedoman hidup mereka. Mereka mengimani ajaran agama Islam serta merealisasikannya dalam kehidupan sebari-hari. Aktualisasi ajaran agama Islam dilaksanakan baik secara individu maupun secara kolektif. Pelaksanaan secara individu misalnya merka harus selalu berbuat kebaikan, mendirikan salat, mengaji, dan aktivitas keagamaan lainnya baik yag dilakukan di rumah maupun di masjid. Ibadah yang dilaksanakan secara individu merupakan ekspresi hubungan kedekatan antara pribadinya dengan Tuhan. Hal ini merupakan wujud tanggung jawab terhadap kewajibannya sebagai pemeluk agama Islam.
           Masyarakat Kasepuhan Cicarucub memiliki konsep bahwa wilayahnya terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu wilayah mata air, tanah titipan, dan tanah tutupan. Wilayah mata air adalah sebuatan wilayah yang memiliki sumber mata air, yang sangat membantu sumber hidup sehari-hari warga kasepuhan. Wilayah ini sangat dijaga kelestarian dan keberadaannya oleh warga.
            Tanah titipan adalah tanah pemberian dari Ratu atau Karuhun, yang harus dijaga kelestarian lingkungannya, tidak boleh dieksploitasi oleh siapapun tanpa seizin Olot. Penggunaan tanah ini dapat dilakukan jika mendapatkan wangsit dari karuhun yang diterima Olot. Tanah titipan harus dimumule (dipelihara), jangan dirusak. Atas seizin Olot di tanah titipan ini warga bisa membangun rumah, asal tetap merujuk pada ketentuan-ketentuan adat yang berlaku.
            Tanah tutupan adalah tanah milik pemerintah (perhutani), berupa hutan lebat yang ditutupi pohon-pohon besar dan kecil. Kawasan ini merupakan kawasan cagar alam yang harus dijaga kelestarian lingkungannya. Tanah yang dilindungi, milik Taman Nasional Gunung Halimun yang merupakan atau dijadikan konservasi air.
            Masyarakat Kasepuhan Cicarucub memiliki pola-pola dalam menata perkampungannya. Pola perkampungannya berkaitan erat dengan unsur-unsur kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya.
            Pola perkampungan masyarakat Kasepuhan Cicarucub sangat unik. Rumah-rumahnya tersusun dari arah utara ke Selatan secara berlapis-lapis, dan yang menjadi pusat adalah Bumi Karuhun atau lebih dikenal dengan sebutan Rompok Adat, yaitu rumah tempat tinggal sesepuh adat atau Olot dan rumah tempat tinggal Juru Basa. Rumah-rumah di wilayah Kasepuhan Cicarucub ini harus menghadap arah Timur-Barat. 
            Rompok Adat pertama yang ditempati Olot bangunannya lebih besar dibandingkan dengan bangunan yang kedua serta berada dalam sebuah area yang berhalaman luas, dengan dibatasi pagar terbuat dari bambu di sekelilingnya. Halaman atau buruan yang luas tersebut dalam keseharian digunakan untuk menjemur hasil budidaya pertanian, pakaian, bermain anak-anak. Namun pada saat-saat tertentu digunakan pula untuk berbagai upacara adat. Buruan Rompok Adat digunakan secara maksimal untuk kegiatan-kegiatan tersebut. Misalnya upacara Seren Taun yang biasa dilaksanakan setahun sekali dan merupakan puncak acara adat bagi warga kasepuhan sebagai masyarakat agraris.
 
Rompok Adat yang didiami oleh Olot
            Rompok adat kedua yang ditempati juru basa berada di sebelah Barat, di area yang lebih rendah dari area Rompok Adat Olot, sehingga jika akan menuju ke sana harus menggunakan jalan tangga yang menurun. 
            Sementara itu rumah warga yang berada di area yang lebih rendah lagi dari Rompok Adat Juru Basa dibagi dalam dua lapis atau kategori. Lapisan pertama dengan arah ke sebelah Selatan dari Rompok Adat yang hanya dibatasi oleh jalan kecil atau gang sampai saluran air yang menuju ke Cai Ageung. Wilayahnya dari batas kali Cibitung ke arah kali Cimanganten. Pada lapisan ini rumah-rumahnya harus panggung; tidak boleh menggunakan atap genting; lantai rumah tidak boleh ditembok, kecuali bagian luar rumah atau teras. Masin

g-masing rumahnya pun di dalamnya tidak boleh ada tempat buang air (kecil maupun besar). Jadi, mereka menggunakan bahan-bahan seperti seng, bambu, kiray, dan kayu untuk membuat rumah. Adapun untuk buang air kecil dan besar mereka pergi ke empang atau kolam. Cai Ageung adalah solokan agak besar atau sungai kecil di hilir (di sebelah kulon ’Barat’), tempat menyatunya aliran air dari solokan-solokan kecil atau saluran-saluran pembuangan air warga.
            Pada rumah lapisan pertama ini, pemilik rumah boleh melengkapi rumahnya dengan penerangan listrik, televisi, parabola, dan jendela berkaca. Jadi, dapat dikatakan rumah pada lapisan pertama merupakan rumah-rumah pada masa transisi. Artinya, sebagian harus mempertahankan adat istiadat karuhun, sebagian lagi sudah mendapatkan kelonggaran. Warga menyebut rumah semi permanen tersebut dengan sebutan imah biasa.
          Lapisan kedua dengan arah Selatan dari lapisan pertama saluran air hingga ke Cai Ageung, batasannya kali Cibitung-Kali Ciratra. Warga pada lapisan ini diberi kebebasan dalam membangun rumah, seperti halnya masyarakat pada umumnya. Jadi rumah-rumah warganya boleh beratap genting, seng, papan, kayu teureup, bangunannya bertingkat, memiliki peralartan elektronik, bahkan kendaraan beroda empat. Warga menyebut rumah permanen tersebut dengan sebutan gedong. Tak heran, di wilayah ini rumah panggung dianggap sebagai rumah orang yang kurang mampu. Jumlah rumah pada lapisan kedua ini ada 15 (lima belas) buah. Jika kemudian ada warga yang ingin membangun rumah, Olot akan mengizinkan. Itupun jika masih ada lahannya dan arsitektur bangunan rumahnya harus bentuk asli.
            Wilayah Kasepuhan Cicarucub pun memilik pemakaman umum. Menjadi suatu ketentuan adat, letak pemakaman ini harus berada di sebelah Timur dan Barat Rompok Adat. Sama halnya dengan letak dan posisi rumah warga tidak boleh dibangun di sebelah Timur Rompok Adat. Posisi demikian disebut ngalangkangan ’melangkahi’. Ngalangkangan merupakan suatu hal yang ditabukan bagi masyarakat Kasepuhan Cicarucub. Jika dilanggar, maka kehidupan pelanggarnya dipercaya akan selalu mengalami kesulitan. 
 Kumpulan Leuit di Cicarucub Girang
            Selanjutnya leuit, sebagai tempat penyimpanan padi, letaknya tidak di lingkungan rumah warga tetapi di suatu tempat dan berkelompok. Sekaligus di sana pun terdapat lesung ’alat untuk menumbuk padi’, yang biasa digunakan para ibu secara bersama-sama. (Diambil dari berbagai sumber).

Oleh-oleh dari Sukabumi


         Sukabumi termasuk ke dalam wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat, Republik Indonesia. Wilayah ini berada di sebelah Barat dari ibu kota Provinsi Jawa Barat, Bandung. Dari Bandung ke Sukabumi dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 2 jam.
          Masyarakat Sukabumi mayoritas beretnis Sunda dengan menggunakan bahasa daerah yaitu bahasa Sunda. Bahasa Sunda digunakan sebagai bahasa pengantar sehari-hari dalam pergaulan. Sukabumi seperti daerah lainnya di Indonesia memiliki khasanah kebudayaan yang relatif banyak misalnya dalam kesenian ada kesenian Kacapi Suling, Lisung Ngamuk, dan sebagainya. Di wilayah ini pun ada batik khas Sukabumi yang disebut Batik Kasukabumian, selain itu, Sukabumi terkenal dengan salah satu pantainya, pantai Pelabuhan Ratu. Di Kabupaten Sukabumi pun terdapat masyarakat adat seperti masyarakat adat Sirnaresmi, Cisungsang, Cipta Mulya, dan sebagainya.    
          Ketika berjalan-jalan ke Sukabumi ditemui beberapa home industri seperti home industri pembuatan moci; makanan khas Sukabumi yang terbuat dari tepung tapioka dan gula. Home industri pembuatan dan penjualan batik, dan perajin handicraft; pembuatan berbagai cenderamata dan peralatan rumah dari paralon.
          Produksi Batik Kasukabumian belum begitu lama, artinya para perajin batik di Sukabumi muncul sekitar tahun 2000-an. Begitu juga jumlah perajinnya belum begitu banyak, sedangkan harga kain yang dipasarkan di showroom-showroom harganya berkisar Rp 100.000,- sampai Rp. 1.000.000,-
 
Motif-motif Batik Kasukabumian
          Handicraft adalah istilah bagi perajin berbagai cenderamata dan peralatan rumah tangga yang dibuat dari bahan paralon yang dibakar. Konon kerajianan ini di Kabupaten Sukabumi baru satu yaitu di Ilham Art Handicraft. Sebagai perajin satu-satunya yang bergerak dalam kerajinan dari bahan paralon yang dibakar, Ilham, sering menjadi pembicara baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. Ia sering bolak balik ke Yogjakarta, Kalimantan, dan sebagainya. Bahkan ada beberapa daerah yang ingin diminta agar dapat memberikan pendidikan dan latihan dalam pembuatan kerajinan dari paralon ini. Namun tawaran tersebut belum ada yang dikabulkan. (Diambil dari berbagai sumber).
 
Home Industri Perajin Handicraft

 Beberapa Hasil Kerajinan Handicraft

Minggu, 02 Juni 2013

Leuit...Lumbung Padi Masyarakat Sunda


             
        Leuit atau dalam istilah umum disebut `lumbung' adalah bangunan tradisional yang diperuntukan untuk menyimpan padi hasil pertanian. Dengan demikian  leuit terdapat pada kebudayaan masyarakat agraris. Leuit adalah sebuah fenomena budaya yang memiliki kompleksitas cukup rumit. Ditilik dari wujud fisiknya, leuit hanyalah sebuah bangunan yang sangat sederhana, baik bentuk, bahan bangunan, maupun teknologi pembuatannya. Akan tetapi dibalik itu, ternyata terdapat seperangkat pranata sosial budaya serta konsep-konsep ideasional masyarakat pemiliknya yang mencerminkan bentuk masyarakat bagaimana yang diidamkan oleh masyarakat. Dengan kata lain dalam fenomena leuit tersirat sistem nilai budaya (cultural value sistem) masyarakatnya. Itu pula sebabnya kenapa fenomena leuit ini masih tetap bertahan dan dipertahankan oleh masyarakat pendukungnya hingga kini.
 Letak Leuit  Di Luar Perkampungan
       Menurut sejarahnya,  leuit sudah ada jauh sebelum sistem pertanian sawah dikenal di daerah Jawa Barat, yaitu ketika masyarakat Sunda masih menggunakan sistem pertanian huma (ladang).
Di kalangan masyarakat pedesaan khususnya masyarakat adat dan masyarakat kampung adat terdapatnya banyak leuit. Hampir setiap penduduk memiliki leuit. Keberadaan leuit menjadi bagian utama dari kehidupan mereka sebagai masyarakat petani.
      Pada umumnya keberadaan leuit pada komunitas adat, sangat berkaitan dengan sistem kepercayaan  mengenai mitos Dewi Sri atau Nyi Pohaci. Selain itu,  padi hasil panen tidak bisa langsung diolah menjadi beras (harus melalui suatu proses, seperti penjemuran, penumbukkan) sehingga diperlukan suatu tempat yang dapat menampung dengan baik dan aman.
       Pada masyarakat komunitas adat, padi yang disimpan di leuit menyebabkan leuit tidak hanya berfungsi sebagai “gudang” tempat penyimpanan padi melainkan menjadi suatu yang lebih penting dalam tahapan aktivitas pertanian mereka. Hal ini dapat dilihat dari adanya adat kebiasaan yang berkaitan dengan leuit. Kaidah adat selain sebagai suatu usaha untuk mempertahankan hubungan kekerabatan dengan para nenek moyang (karuhun), juga memperkuat hubungan antar sesama warga  dengan solidaritas kelompok yang terbina setia saat.
Letak Leuit agak Jauh dari Perkampungan 
       Bentuk bangunan leuit pada komunitas adat tidak terlepas dengan alam lingkungannya. Oleh karenanya,bangunan leuit ini hampir sama dengan bentuk rumah orang Sunda yang tinggal di pegunungan, yaitu panggung.  Bentuk bangunan panggung dimaksudkan padi yang berada di dalamnya agar tidak cepat basah/lembab karena adanya sirkulasi udara di bawah bangunan leuit, (kolong leuit) bisa menghangatkan melalui celah-celah dadampar. Selain itu, bentuk leuit yang panggung ini pada mulanya dimasudkan agar tidak diganggu oleh hewan liar,seperti bagong (sus vitasus).
            Bentuk atap leuit adalah salah satu bentuk atap susuhunan panjang yang biasa disebut dengan atap garuda ngupuk, yaitu pertemuan kedua belah atap kiri-kanan badan leuit menutupi lebih panjang rumah, sehingga ujung atap rendah dari tanah dan puncak atap membentuk sudut yang lancip. Atap leuit ini biasanya terbuat dari injuk atau kiray. Menurut Heinz Frick (1988), atap dari injuk mempunyai sifat sifat tahan terhadap air serta tahan lama sampai lebih kurang 10 tahun.
       Rangka dinding ruang penyimpanan untuk ke empat sisinya terdiri dari tiang tengah dan palang palang yang berfungsi untuk menempelkan bilik dari bagian dalam. Pemasangan bilik dilakukan dari bagian dalam dengan tujuan untuk menjadikan permukaan  ruang penyimpanan relatif rata.  Pada sisi tihang dan cangkok handap biasanya ditempel dengan palipit yang berfungsi memperkuat  bilik dari gangguan hama tikus.  Bentuk bangunan leuit yang menurut istilah lokal adalah bentuk sikat (seperti wadah) dan bentuk atap yang lancip menyebabkan air hujan yang jatuh tidak akan membasahi dinding leuit bagian bawah.
 
Bentuk Leuit seperti Sikat (Limas)
         Dadampar (lantai) yang merupakan bagian penyangga beban padi yang disimpan di leuit, mempunyai konstruksi rangka yang cukup kuat dan kokoh dengan pemasangan dua balok bantalan tengah memanjang dari depan ke belakang (pameot) serta dua balok  bantalan tengah yang memanjang dari kiri ke kanan (cangkok handap).  Selain itu, ditambah dengan dua buah balok bantalan yang berada di tengah- tengah (pananggeuy) yang diperkuat oleh dua buah batu (deudeul) di tengah-tengah panangeuy.   Dadampar (lantai leuit yang terbuat dari papan kayu) sebagai penutup lantai dipasang menumpang pada cangkok handap, pameot, dan pananggeuy memanjang dari depan ke belakang. Dipasang cukup rapat sehingga tidak terdapat celah di antaranya.
       Bagian terbawah leuit disangga dengan umpak untuk meneruskan beban bangunan leuit dan beban padi yang disimpan di leuit ke tanah. Selain itu, bagian umpak ini dimaksudkan agar  bagian tiang tidak bersentuhan dengan tanah sehingga tiang kayu tidak terkena rinyuh (hama kayu). Semua material bangunan leuit pada bagian ruang penyimpanan ini menggunakan kayu yang kemudian dipoles dengan kapur cikur yang dimaksudkan agar kayu tidak cepat rapuh oleh rinyuh (hama kayu).
          Fungsi utama leuit adalah tempat penyimpanan gabah (padi yang sudah kering). Namun demikian leuit yang kental dengan kehidupan masyarakat petani pedesaan memiliki fungsi lain, yaitu fungsi sosial, fungsi ritual, dan fungsi ekonomi.
       Fungsi sosial, leuit sangat berperan ketika  masyarakat mengalami masa paceklik atau kekurangan pangan. Saat itu leuit berperan dalam memenuhi katersediaan bahan pangan bagi masyarakat setempat. Warga yang kekurangan bisa meminjam kepada leuit adat, kelak setelah panen warga yang berutang akan mengembalikan padi pinjamannya ke leuit
Fungsi ritual, berkaitan dengan keberadaan leuit yang berperan dalam menjaga adat istiadat dalam konteks kebudayaan setempat. Misalnya, dalam kepercayaan setempat Dewi Sri atau Nyi Pohaci diyakini sebagai Dewi Padi yang harus disikapi dan diperlakukan secara istimewa.  
Fungsi ekonomi, leuit oleh masyarakat dijadikan tempat untuk menyimpan padi, adakalanya padi  dibiarkan sebagai tabungan. Setelah lebih dari satu tahun, padi kemudian dikeluarkan dan dijual. Hasilnya digunakan untuk berbegai keperluan yang mendesak dan sangat penting. (Diambil dari berbagai sumber).