Jumat, 31 Mei 2013

Kapal Ferry di Selat Sunda

          Denyut Kehidupan Di Atas Kapal Ferry Antara Merak-Bakauheni................................................
       Sekarang dan beberapa tahun yang lalu sangat berbeda. Setelah kejadian malam hari bulan Januari 2011, kebakaran kapal ferry di Selat Sunda yang menelan korban 40 jiwa. Berubah total, kini faktor keamanan sangat diperhatikan...jumlah pelampung, sekoci, kondisi kapal, dan ketertiban kendaraan di dalam kapal. Dulu kondisi kapal sangat memprihatinkan..kotor, bau begitu pula keadaan pelampung, sekoci, dan kendaraan di kapal dibiarkan menyala terutama bis dan truk...ruangan terasa panas pengap dan bising, panas yang menyesakkan bagaikan bara api yang tinggal menunggu percikan api............
       Kenyamanan sekarang ini terasa dari penataan dan kebersihan toilet, mushola. ruangan eksekutif, deretan kursi baik di ruangan tertutup maupun di ruangan terbuka. Di malam hari berdiri di atas kapal sambil menikmati sejuknya desiran angin malam memandang ke depan....bola lampu gemerlapan, melihat ke bawah riak gelombang laut di malam hari. Siang hari sejauh mata memandang melihat keindahan bumi Nusantara yang menakjubkan..luas, indah, dan mempesona..sambil merasakan kerasnya hempasan angin laut ke muka dan besarnya gelombang menghantam kapal. Di seberang sana untaian mutu manikam kepulauan yang indah, gunung Krakatau dan.....
        Bila merasa jenuh dan bosan menikmatinya...tinggal masuk ke ruangan eksekutif hanya merogoh uang 5-8 ribu rupiah...ruangan ber-AC siap meninabobokan untuk tidur beberapa jam............Waktu tempuh pelabuhan Merak Bakauheni 2-3 jam. Dapat dilalui dengan istirahat, ngobrol atau menikmati fasilitas di atas kapal seperti karaoke dangdutan dan ngepop atau menikmati pijatan dengan biaya 50 ribu. Jenis pijatan ada tiga macam: pijatan biasa ke seluruh tubuh, dengan bekam, dan pijatan plus bekam. Keluar Kapal badan terasa segar dan ringan. Televisi dipasang untuk menikmati filem CD dengan durasi antara 1-2 jam..........
      Waktu solat tinggal naik ke ruang mushola dengan ruangan ber-AC dan berkarpet. Tempat berwudhupun telah tersedia......Saat waktu solat Jumat, maka mushola digunakan untuk tempat melaksanakan solat Jumat...........
        Ketika kapal mau berangkat atau kapal berhenti, para penumpang bisa menikmati anak laut berenang sambil melompat dari atas gladak kapal. Sesekali kita dapat menyaksikan ikan ubur-ubur dan lumba-lumba di samping kapal..............
 

Pangjugjugan yang Sejuk

     Objek wisata ini belum terasa kental di telinga, bahkan banyak orang yang tidak mengenal dan mendengar keberadaannya. Padahal "Pangjugjugan" sudah diresmikan sejak tanggal 9-9-1999, walaupun diakui objek wisata ini baru bisa beroperasi secara optimal setahun yang lalu.
        Pangjugjugan terletak di Cilembu Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat, Republik Indonesia. Pada umumnya orang mengenal Cilembu sebagai wilayah yang memproduksi ubi yang memiliki rasa khas (manis, gurih, dan legit). Wilayah ini merupakan pebukitan dan lembah dengan pepohonan yang hijau dan sejuk. Tentu saja panorama alam di sini tidak kalah indahnya dengan kawasan wisata lainnya seperti Puncak, Ciater Subang, dan Lembang.
       Banyak objek yang disuguhkan kepada wisatawan baik lokal maupun mancanagara yaitu keindahan alam/pebukitan/lembah/pepohonan, kolam renang, penginapan, pemancingan, menangkap ikan, berlayar (naik perahu), tempat bermain anak, futsal, flying fox, outbond, strawberry, dan masih banyak lagi.Tentunya selain sejuk, nyaman, tempat wisata ini menyajikan harga yang terjangkau.
        Konon tempat ini menjadi objek wisata bermula dari seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi terkenal di negeri Indonesia khususnya di Bandung Jawa Barat, yang sedang melakukan PKL (Praktek Kerja Lapangan) dari Institut Teknologi Bandung di Gunung Kareumbi. Letak Gunung ini berdekatan dengan Objek Wisata Pangjugjugan, yang biasa dilalui jika hendak menuju gunung tersebut. Ketika itu Sang Mahasiswa punya obsesi ingin menyulap tempat tersebut menjadi sesuatu yang membanggakan masyarakat di sana. Hal tersebut diketahui oleh beberapa warga dan tentunya mereka sangat mengharapkan. Ternyata obsesi mahasiswa tadi sekarang terealisasi. Alhasil tempat ini selain menambah khasanah objek wisata alam di Jawa Barat, khususnya Kabupaten Sumedang juga menciptakan lapangan kerja warga setempat dan meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah).
        Kini, objek wisata Pangjugjugan yang memiliki luas kurang lebih 17 hektar dikelola oleh sebuah yayasan. Kiranya untuk kemajuan dan kemakmuran objek wisata, perlu perhatian dan bantuan dari berbagai pihak terutama dalam mendisains tempat agar luas areal yang cukup besar yakni 17 hektar, jangan tampak sempit dan kecil. Selain itu keberadaan jalan dan tempat parkir yang sangat kecil untuk ukuran tempat wisata ini perlu diperbaiki, jangan sampai bis kesulitan untuk masuk ke tempat ini jika berpapasan dengan mobil atau bis lainnya. (Diambil dari berbagai sumber).

Kamis, 30 Mei 2013

Mengenal Debus Almadad

 
Rombongan Kesenian Debus Almadad
       Debus Almadad terdapat di Kelurahan Juhut, Kecamatan Karang Tunggal, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, Republik Indonesia. Kesenian ini merupakan jenis kesenian atraksi yang memperkenalkan kekebalan tubuh. Selain menggunakan peralatan musik tradisional Rebana, kesenian ini merupakan penggabungan antara beladiri Pencak Silat dengan keterampilan kekebalan tubuh.
Atraksi saling memukul dengan almadad
       Kesenian Debus Almadad merupakan perkembangan dari kesenian debus. Menurut ahlinya kesenian debus ini dikategorikan kedalam tiga jenis yaitu: debus putih, debus hitam, dan sulap. Kategori debus hitam dapat dilihat dari atraksinya yang mengeluarkan darah seperi memotong lidah, menebas leher sampai berdarah, memakan beling (gelas kaca pecah), menebas perut sampai keluar usus dari dalam tubuh, dan sebagainya. Kategori debus putih adalah kesenian debus seperti almadad ini. Sedangkan kategori debus sulap adalah jenis kesenian debus yang biasa ditampilkan di sekolah-sekolah yang atraksi seperti permainan sulap.
Almadad Dihujamkan ke Perut lalu Dihantam dengan Almadad lainnya
       Istilah Almadad sebagai nama debus ini diambil dari peralatan atraksi yang merupakan benda yang berujung tajam dan bagian kepalanya merupakan silinder berdiameter antara 20-30 cm dengan panjang antara 15-25 cm. 
Rebana sebagai Pengiring Kesenian Debus Almadad
       Alat pengiring debus ini adalah sejenis alat musik rebana atau terbang dengan jumlah 11 buah. Setiap rebana memiliki nama dan fungsi tersendiri. Nama rebana ini adalah Indung, Kepala, Bendrong, Pangiring, Gubrag, Ginjal. Pimpat, Sela, Telu, dan Anting. Beda dengan seni debus umumnya di antaranya kesenian debus pada umumnya menggunakan seperangkat alat musik kendang Pencak Silat dan Patingtung.  Selain itu durasi permainan kedua jenis kesenian ini berbeda, dimana kesenian Debus Almadad menghabiskan waktu relatif tidak lama, sedangkan kesenian debus pada umumnya menghabiskan waktu relatif lama.
Almadad (peralatan atraksi dalam kesenian ini)
       Munculnya kesenian debus berkaitan dengan perkembangan agama Islam. Para pendahulu memanfaatkan momen kesenian debus ini untuk mengembangkan syiar atau penyebaran agama Islam di Indonesia. Selain itu, Sultan Hasanudin dan Sultan Maulana Yusuf sebagai sultan pertama dan kedua di Kesultanan Banten, menggembleng para prajuritnya dengan ilmu kebal tubuh atau debus. Hal itu dilakukan untuk mengimbangi persenjataan bangsa asing yang serba lengkap dan canggih yaitu Belanda yang ingin menjajah Indonesia. Pusat penggemblengan prajurit Kesultanan Banten pada saat itu adalah di Pandeglang. Menurut penuturan Pimpinan Debus Almadad, Syekh Halimi bahwa. Debus Almadad sekarang ini merupakan generasi keenam. Sementara itu seni ini mulai dikembangkan oleh Ki Agus Ju dari keturunan Sultan Hasanuddin. (Diambil dari berbagai sumber).
 

Selasa, 28 Mei 2013

Selintas Kampung Adat Keputihan Cirebon

       Kampung Keputihan merupakan kampung adat yang berlokasi di wilayah Sumber, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat, Republik Indonesia. Sebagai masyarakat adat dalam kehidupan sehari-harinya masih menjaga dan memelihara adat istiadat leluhurnya termasuk arsitektur rumah.
       Bangunan tradisional di Kampung Adat Keputihan masih relatif asli, walaupun sudah ada perubahan misalnya atap yang seharusnya menggunakan bahan dari dedaunan seperti daun kelapa dan daun tebu sekarang ada yang menggunakan seng dan asbes, begitu juga lantai yang seharusnya hamparan tanah ada beberapa rumah yang sudah menggunakan peluran (adukan semen dengan pasir). Jumlah bangunan rumahpun sekarang sudah berkurang karena ada beberapa warga yang keluar dari Kampung Keputihan dengan alasan ingin memiliki bangunan permanen.
 
Sosok Rumah Adat di Kampung Adat Keputihan
       Bangunan tempat musyawarah di Kampung Adat Keputihan sudah tidak ada lagi, sekarang mereka kalau melaksanakan musyawarah menggunakan rumah Ketua Rukun Tetangga (RT) atau tetua adat. Begitu pula lumbung padi atau tempat menyimpan padi sehabis panen di Kampung Adat Keputihan sudah tidak ada, dulu memang ada akan tetapi sekarang sudah tidak ada. Alasannya sekarang ini padi hasil panen dari sawah tidak perlu lagi disimpan ke lumbung tapi dimasukkan kedalam karung dan dijual ke warung atau kepada bandar-bandar yang biasa menampung padi langsung dari sawah selepas panen.
        Luas tanah adat di Kampung Keputihan mencapai 10 hektar, tanah ini disebut juga sebagai tanah kesucian; orang di sini menurut leluhur atau menganggap "dirinya" adalah suci. Dari kata kesucian inilah munculnya nama keputihan, nama tersebut muncul dari penuturan terlalu cepat dan ada juga yang berpendapat dari kesamaan (sinonim) “suci” adalah putih seperti bajunya putih sesuci hatinya.
        Kampung Adat Keputihan di Kabupaten Cirebon dulunya terdiri atas tujuhbelas (17) rumah, kini yang ada hanya tigabelas (13) rumah. Menciutnya rumah adat ini disebabkan oleh warga pindah ke tempat lain, diluar areal kampung adat. Mereka merasa mampu untuk membangun rumah permanen yang beratap genting dari tanah liat, ada juga yang pindah karena sudah tidak kuat hidup dengan memelihara dan menjaga adat istiadat leluhur (nenek moyang), ingin bebas.
       Adat istiadat yang masih berlaku di Kampung Adat Keputihan selain kepercayaan terhadap keberadaan leluhur yang selalu melindungi dan mengayomi mereka juga memelihara larangan-larangan seperti rumah tidak boleh menggunakan tembok, jendela tidak boleh dengan kaca, atap hanya boleh menggunakan dedaunan seperti daun Tebu dan daun Kelapa, sumur tidak boleh berada di posisi sebelah kiri rumah, dan sebagainya. Pelanggaran terhadap adat istiadat leluhur akan mendapatkan sangsi. Istilahnya kualat, bentuk kualat itu di antaranya akan kena penyakit yang tidak sembuh-sembuh atau disulitkan mencari rejeki seperti mendapat kesulitan makan dan sebagainya.
Rumah yang Lantainya sudah Ditembok
      Pemisah antara kampung dengan kampung adat hanyalah kebun biasa, bahkan orang yang lewat tidak dapat membedakannya selain bentuk bangunannya. Memasuki area Kampung Adat Keputihan tampaklah bangunan pertama yang beratapkan daun kelapa/tebu dan berlantai tanah yang ditinggikan 30-50 cm dari permukaan tanah. Selanjutnya beberapa rumah akan kelihatan kembali dengan jarak yang cukup terpisah oleh kebun. Antara rumah yang satu dengan yang lainnya tidak tertata rapih dan jarak yang satu dengan yang lainnya agak berjauhan. 
Warga Kampung Adat Keputihan sedang Bersantai di Depan Rumahnya       
       Posisi rumah mengarah ke Selatan dan bagian belakangnya ke arah Utara atau boleh juga mengarah ke Utara. Sedangkan posisi sumur dan tempat mandi harus ada di sebelah kanan agak ke belakang. Jika posisi sumur di sebelah kiri rumah dianggap ‘sama dengan makan bangkai’. Kalaupun ada bangunan kamar mandi di sebelah kiri rumah, itu hanya difungsikan sebagai tempat untuk mencuci dan mandi.(Diambil dari berbagai sumber).

Selayang Pandang Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang

       Selama ini mungkin kita hanya mengetahui Kerajaan Pajajaran, Tarumanagara, Sriwijaya, Majapahit, Kediri, Mataram, Kerajaan Demak, Kesultanan Cirebon, dan Kesultanan Banten sebagai kerajaan besar yang menghiasi kehidupan masa lalu bangsa Indonesia, padahal di sekitar kita terdapat sebuah kerajaan yang belum kita ketahui yaitu Kerajaan Sumedanglarang. Sumedanglarang terdapat di Kabupaten Sumedang. 
       Peninggalan Kerajaan Sumedanglarang beserta keturunannya disimpan di museum Prabu Geusan Ulun. Mendengar museum Prabu Geusan Ulun mengingatkan kita akan patriotisme dan keagungan Kerajaan Sumedanglarang, lokasi ini juga dicanangkan menjadi pusat (puser) kebudayaan Sunda. Sayangnya Museum Prabu Geusan Ulun merupakan museum milik swasta yang dikelola oleh swasta, kemungkinan keturunan Sumedanglarang dan para bupati tempo dulu. Namun demikian diharapkan di masa yang akan datang banyak para donatur yang memberikan perhatian terhadap eksistensi museum ini, agar lebih terawat, terpelihara, dan semakin memuaskan para pengunjung.


Salah satu Pintu Museum
      Di museum Prabu Geusan Ulun ada enam gedung yang dijadikan wahana menyimpan peninggalan leluhur Sumedang, yaitu gedung Srimanganti, gedung Pusaka, gedung Gamelan, gedung Gendeng, gedung Bumi Kaler, dan gedung Kereta. Gedung Srimanganti dibangun pada tahun 1706, fungsinya adalah sebagai tempat para tamu menanti/menunggu bertemu dengan bupati. Di gedung ini tersimpan beberapa photo para bupati Kabupaten Sumedang. Gedung ini berada di bangunan paling depan setelah pintu gerbang, yang letaknya di sebelah kiri.
        Gedung Bumi Kaler dibangun pada tahun 1805, di gedung ini di antaranya tersimpan koleksi uang kuno, busana pakaian sunat masa lalu, dan 33 buah naskah kuno. Gedung Gendeng dibangun pada tahun 1850, di gedung ini tersimpan pusaka. 
       Gedung Gamelan dibangun pada tahun 1973, di gedung ini tersimpan perangkat kesenian tradisional para bupati Sumedang di masa lalu yaitu gamelan panglipur peninggalan Pangeran Ranggagede (1625-1633), gamelan pangasih peninggalan Pangeran Kornel (1791-1882). Pangeran Kornel adalah seorang pahlawan nasional, beliau merupakan Bupati Sumedang yang menentang keras kerja paksa yang dilakukan pemerintahan Penjajah Belanda. Beliau memberontak terhadap pemerintahan Belanda karena tidak tega melihat anak bangsa teraniaya untuk bekerja keras tanpa upah dan makanan yang memadai sehingga banyak para pemuda yang mati. Semangat patriotisme beliau diabadikan menjadi nama Cadas Pangeran, jalan yang menjadi pintu gerbang Sumedang dari arah Bandung (Barat). 
 
 Sejumlah Gamelan Peninggalan para Bupati
     Gamelan Sari Arum peninggalan Pangeran Sugih (1836-1882). Gamelan Sari Oneng Mataran peninggalan Pangeran Panembahan Rangga Gempol III tahun 1656. Gamelan Sari Oneng Parakan Salak peninggalan Tuan Andria tahun 1825. Gamelan Sekar Oneng yaitu gamelan paling bagus dan terkenal pada tahun 1656, peninggalan Pangeran Panembahan.
       Gedung Pusaka dibangun pada tahun 1990, di gedung ini tersimpan pedang, tombak, gobang dan senjata perang para prajurit Kerajaan Sumedanglarang. Selain itu terdapat mahkota Siger Binokasi yang dilapisi mas 14 karat. 

Peninggalan Senjata Perang
       Gedung Kereta Naga Paksi yang dibangun pada tahun 1996. Di gedung ini terdapat Kereta Kencana Naga Paksi sebagai kereta kencana yang digunakan untuk menyambut para tamu agung bupati Sumedang di masa lalu. Kereta Kencana Paksi ini pula, konon pada tanggal 23 April 2011 dinaiki Bupati Sumedang dan Gubernur Provinsi Jawa Barat, Ahmad Heryawan sebagai simbolisasi kepindahan Kantor Bupati ke tempat yang baru. (Diambil dari berbagai sumber).
 
Kereta Naga Paksi

Batik Tasikan


     Batik termasuk salah satu dari empat khasanah budaya bangsa Indonesia yang telah diakui oleh UNESCO PBB, selain keris, angklung, dan wayang golek. Sebagai salah satu produk budaya bangsa yang menjadi Warisan Budaya Dunia, batik harus mendapat perhatian dari kita semua.
        Hampir di pelosok nusantara keberadaan batik menjadi kerajinan tangan, mulai dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Betawi, Lampung, dan tempat-tempat lainnya. Di Jawa Barat dikenal ada Batik Dermayon dari Indramayu, di Cirebon ada batik Trusmi dan batik Keraton, di Sumedang Batik Kasumedangan, di Garut batik Garutan, di Ciamis ada batik Ciamisan, batik Cimahi, batik Sukabumi, dan di Tasikmalaya ada batik Tasikan.
        Batik Tasikan sudah ada sejak zaman kerajaan Tarumanagara abad VII-IX, dengan ditemukan bahan yang berasal dari pohon Tarum. Sedangkan di Sukapura ditemukan sampel batik dengan motif Bilik yang diperkirakan sudah berumur 120 tahun. Batik Tasikan pernah dipengaruhi oleh batik dari Jawa Tengah yaitu desain dan warna, karena pada abad 18-19 terjadi peperangan di Jawa Tengah. Dan sebagian pengusaha batik mengungsi ke arah barat yaitu ke Tasikmalaya dan Ciamis.

 
Batik Tulis 
     Batik Tasikan memiliki kekhasan dalam corak dan warna yaitu lebih kontras dan berani. Peralatan membatik cukup sederhana misalnya peralatan untuk nembok (menutup dengan cairan lilin pada bagian yangakan dipertahankan warnanya) terdiri atas canting pananggung, ketel, kompor, jojodog (tempat), dan wangkring (sandaran batik). 
       Peralatan mewarnai adalah pewarna, bak pewarna, tempat merebus (ngalorod; membuang cairan lilin), bak mencuci, dan jemuran. 
       Peralatan batik Tulis adalah canting dari berbagai jenis seperti isen (membuat titik), panganggung (proses nembok), sarasa dan galonggong (menutup bagian yang besar), dan banji untuk membuat pola/ngarengreng.
       Pewarna dibagi dua macam yaitu pewarana kimia dan alami. Pewarna kimia terdiri atas pewarna yang berasal dari garam seperti MRB (merah
, MR (merah), BB (biru), Insigo (Biru), RTIP (merah tua kecoklatan), dan pewarna dari naftol/penguat warna seperti ASBO (warna tua), AS (warna sedang), dan ASG (warna kuning dan lainnya). 
       Pewarna alami terdiri dari batang mahoni dan buah mengkudu menghasilkan warna merah, daun jambu kelutuk menghasilkan warna abu-abu, daun mangga menghasilkan warna hijau, dan kunyit menghasilkan warna kuning. Selain itu ada fiksasi yaitu penguat warna seperti tawas dicampur kunyit akan menghasilkan warna kuning yang cerah. Kapur dicampur dengan warna, dan kuyus kucing.
 
Batik Cap
       Cara pembuatan batik tulis adalah sebagai berikut: kain ditulisi/digambar dengan motif yang diinginkan kemudian diwarnai dasar, selanjutnya bagian yang akan dipertahankan warnanya ditutup dengan cairan lilin yang disebut proses nembok, lalu diwarnai lagi, dan direbus untuk mengeluarkan cairan lilinnya proses ngalorod). Kain dicuci dan dijemur sampai kering dan diseterika. Kain siap dipasarkan atau dipotong dan digunting untuk dibuat pakaian jadi. 
       Batik cap pembuatannya sebagai berikut: kain digarisi agar pada waktu pengecapan jadi lurus. Setelah dicap kemudian diwarnai, selanjutnya melalui proses nembok, diwarnai lagi, direbus, dicuci, dijemur dan diseterika.
        Pusat batik Tasikan di kota Tasikmalaya di antaranya di Cigereng sedangkan di kabupaten terpusat di Kampung Sukapura, desa Sukapura Kabupaten Tasikmalaya.(Diambil dari berbagai sumber).
Proses Ngalorod (Pembersihan Lilin)