Selasa, 28 Mei 2013

Selintas Kampung Adat Keputihan Cirebon

       Kampung Keputihan merupakan kampung adat yang berlokasi di wilayah Sumber, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat, Republik Indonesia. Sebagai masyarakat adat dalam kehidupan sehari-harinya masih menjaga dan memelihara adat istiadat leluhurnya termasuk arsitektur rumah.
       Bangunan tradisional di Kampung Adat Keputihan masih relatif asli, walaupun sudah ada perubahan misalnya atap yang seharusnya menggunakan bahan dari dedaunan seperti daun kelapa dan daun tebu sekarang ada yang menggunakan seng dan asbes, begitu juga lantai yang seharusnya hamparan tanah ada beberapa rumah yang sudah menggunakan peluran (adukan semen dengan pasir). Jumlah bangunan rumahpun sekarang sudah berkurang karena ada beberapa warga yang keluar dari Kampung Keputihan dengan alasan ingin memiliki bangunan permanen.
 
Sosok Rumah Adat di Kampung Adat Keputihan
       Bangunan tempat musyawarah di Kampung Adat Keputihan sudah tidak ada lagi, sekarang mereka kalau melaksanakan musyawarah menggunakan rumah Ketua Rukun Tetangga (RT) atau tetua adat. Begitu pula lumbung padi atau tempat menyimpan padi sehabis panen di Kampung Adat Keputihan sudah tidak ada, dulu memang ada akan tetapi sekarang sudah tidak ada. Alasannya sekarang ini padi hasil panen dari sawah tidak perlu lagi disimpan ke lumbung tapi dimasukkan kedalam karung dan dijual ke warung atau kepada bandar-bandar yang biasa menampung padi langsung dari sawah selepas panen.
        Luas tanah adat di Kampung Keputihan mencapai 10 hektar, tanah ini disebut juga sebagai tanah kesucian; orang di sini menurut leluhur atau menganggap "dirinya" adalah suci. Dari kata kesucian inilah munculnya nama keputihan, nama tersebut muncul dari penuturan terlalu cepat dan ada juga yang berpendapat dari kesamaan (sinonim) “suci” adalah putih seperti bajunya putih sesuci hatinya.
        Kampung Adat Keputihan di Kabupaten Cirebon dulunya terdiri atas tujuhbelas (17) rumah, kini yang ada hanya tigabelas (13) rumah. Menciutnya rumah adat ini disebabkan oleh warga pindah ke tempat lain, diluar areal kampung adat. Mereka merasa mampu untuk membangun rumah permanen yang beratap genting dari tanah liat, ada juga yang pindah karena sudah tidak kuat hidup dengan memelihara dan menjaga adat istiadat leluhur (nenek moyang), ingin bebas.
       Adat istiadat yang masih berlaku di Kampung Adat Keputihan selain kepercayaan terhadap keberadaan leluhur yang selalu melindungi dan mengayomi mereka juga memelihara larangan-larangan seperti rumah tidak boleh menggunakan tembok, jendela tidak boleh dengan kaca, atap hanya boleh menggunakan dedaunan seperti daun Tebu dan daun Kelapa, sumur tidak boleh berada di posisi sebelah kiri rumah, dan sebagainya. Pelanggaran terhadap adat istiadat leluhur akan mendapatkan sangsi. Istilahnya kualat, bentuk kualat itu di antaranya akan kena penyakit yang tidak sembuh-sembuh atau disulitkan mencari rejeki seperti mendapat kesulitan makan dan sebagainya.
Rumah yang Lantainya sudah Ditembok
      Pemisah antara kampung dengan kampung adat hanyalah kebun biasa, bahkan orang yang lewat tidak dapat membedakannya selain bentuk bangunannya. Memasuki area Kampung Adat Keputihan tampaklah bangunan pertama yang beratapkan daun kelapa/tebu dan berlantai tanah yang ditinggikan 30-50 cm dari permukaan tanah. Selanjutnya beberapa rumah akan kelihatan kembali dengan jarak yang cukup terpisah oleh kebun. Antara rumah yang satu dengan yang lainnya tidak tertata rapih dan jarak yang satu dengan yang lainnya agak berjauhan. 
Warga Kampung Adat Keputihan sedang Bersantai di Depan Rumahnya       
       Posisi rumah mengarah ke Selatan dan bagian belakangnya ke arah Utara atau boleh juga mengarah ke Utara. Sedangkan posisi sumur dan tempat mandi harus ada di sebelah kanan agak ke belakang. Jika posisi sumur di sebelah kiri rumah dianggap ‘sama dengan makan bangkai’. Kalaupun ada bangunan kamar mandi di sebelah kiri rumah, itu hanya difungsikan sebagai tempat untuk mencuci dan mandi.(Diambil dari berbagai sumber).

1 komentar: