Kampung Keputihan merupakan kampung adat yang
berlokasi di wilayah Sumber, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon, Provinsi
Jawa Barat, Republik Indonesia. Sebagai masyarakat adat dalam kehidupan sehari-harinya
masih menjaga dan memelihara adat istiadat leluhurnya termasuk arsitektur rumah.
Bangunan tradisional di Kampung Adat Keputihan masih relatif asli, walaupun sudah ada perubahan misalnya atap yang seharusnya menggunakan bahan dari dedaunan seperti daun kelapa dan daun tebu sekarang ada yang menggunakan seng dan asbes, begitu juga lantai yang seharusnya hamparan tanah ada beberapa rumah yang sudah menggunakan peluran (adukan semen dengan pasir). Jumlah bangunan rumahpun sekarang sudah berkurang karena ada beberapa warga yang keluar dari Kampung Keputihan dengan alasan ingin memiliki bangunan permanen.
Bangunan tradisional di Kampung Adat Keputihan masih relatif asli, walaupun sudah ada perubahan misalnya atap yang seharusnya menggunakan bahan dari dedaunan seperti daun kelapa dan daun tebu sekarang ada yang menggunakan seng dan asbes, begitu juga lantai yang seharusnya hamparan tanah ada beberapa rumah yang sudah menggunakan peluran (adukan semen dengan pasir). Jumlah bangunan rumahpun sekarang sudah berkurang karena ada beberapa warga yang keluar dari Kampung Keputihan dengan alasan ingin memiliki bangunan permanen.
Sosok Rumah Adat di Kampung Adat Keputihan
Bangunan tempat
musyawarah di Kampung Adat Keputihan sudah tidak ada lagi, sekarang
mereka kalau melaksanakan musyawarah menggunakan rumah Ketua Rukun
Tetangga (RT) atau tetua adat. Begitu pula lumbung padi atau tempat
menyimpan padi sehabis panen di Kampung Adat Keputihan sudah tidak ada,
dulu memang ada akan tetapi sekarang sudah tidak ada. Alasannya sekarang
ini padi hasil panen dari sawah tidak perlu lagi disimpan ke lumbung tapi
dimasukkan kedalam karung dan dijual ke warung atau kepada
bandar-bandar yang biasa menampung padi langsung dari sawah selepas
panen.
Luas tanah adat di Kampung Keputihan mencapai 10 hektar, tanah ini disebut juga sebagai tanah kesucian; orang di sini menurut leluhur atau menganggap "dirinya" adalah suci. Dari kata kesucian inilah munculnya nama keputihan, nama tersebut muncul dari penuturan terlalu cepat dan ada juga yang berpendapat dari kesamaan (sinonim) “suci” adalah putih seperti bajunya putih sesuci hatinya.
Kampung Adat Keputihan di Kabupaten Cirebon dulunya terdiri atas tujuhbelas (17) rumah, kini yang ada hanya tigabelas (13) rumah. Menciutnya rumah adat ini disebabkan oleh warga pindah ke tempat lain, diluar areal kampung adat. Mereka merasa mampu untuk membangun rumah permanen yang beratap genting dari tanah liat, ada juga yang pindah karena sudah tidak kuat hidup dengan memelihara dan menjaga adat istiadat leluhur (nenek moyang), ingin bebas.
Adat istiadat yang masih berlaku di Kampung Adat Keputihan selain kepercayaan terhadap keberadaan leluhur yang selalu melindungi dan mengayomi mereka juga memelihara larangan-larangan seperti rumah tidak boleh menggunakan tembok, jendela tidak boleh dengan kaca, atap hanya boleh menggunakan dedaunan seperti daun Tebu dan daun Kelapa, sumur tidak boleh berada di posisi sebelah kiri rumah, dan sebagainya. Pelanggaran terhadap adat istiadat leluhur akan mendapatkan sangsi. Istilahnya kualat, bentuk kualat itu di antaranya akan kena penyakit yang tidak sembuh-sembuh atau disulitkan mencari rejeki seperti mendapat kesulitan makan dan sebagainya.
Luas tanah adat di Kampung Keputihan mencapai 10 hektar, tanah ini disebut juga sebagai tanah kesucian; orang di sini menurut leluhur atau menganggap "dirinya" adalah suci. Dari kata kesucian inilah munculnya nama keputihan, nama tersebut muncul dari penuturan terlalu cepat dan ada juga yang berpendapat dari kesamaan (sinonim) “suci” adalah putih seperti bajunya putih sesuci hatinya.
Kampung Adat Keputihan di Kabupaten Cirebon dulunya terdiri atas tujuhbelas (17) rumah, kini yang ada hanya tigabelas (13) rumah. Menciutnya rumah adat ini disebabkan oleh warga pindah ke tempat lain, diluar areal kampung adat. Mereka merasa mampu untuk membangun rumah permanen yang beratap genting dari tanah liat, ada juga yang pindah karena sudah tidak kuat hidup dengan memelihara dan menjaga adat istiadat leluhur (nenek moyang), ingin bebas.
Adat istiadat yang masih berlaku di Kampung Adat Keputihan selain kepercayaan terhadap keberadaan leluhur yang selalu melindungi dan mengayomi mereka juga memelihara larangan-larangan seperti rumah tidak boleh menggunakan tembok, jendela tidak boleh dengan kaca, atap hanya boleh menggunakan dedaunan seperti daun Tebu dan daun Kelapa, sumur tidak boleh berada di posisi sebelah kiri rumah, dan sebagainya. Pelanggaran terhadap adat istiadat leluhur akan mendapatkan sangsi. Istilahnya kualat, bentuk kualat itu di antaranya akan kena penyakit yang tidak sembuh-sembuh atau disulitkan mencari rejeki seperti mendapat kesulitan makan dan sebagainya.
Rumah yang Lantainya sudah Ditembok
Pemisah antara
kampung dengan kampung adat hanyalah kebun biasa, bahkan orang yang
lewat tidak dapat membedakannya selain bentuk bangunannya. Memasuki area
Kampung Adat Keputihan tampaklah bangunan pertama yang beratapkan daun
kelapa/tebu dan berlantai tanah yang ditinggikan 30-50 cm dari permukaan
tanah. Selanjutnya beberapa rumah akan kelihatan kembali dengan jarak
yang cukup terpisah oleh kebun. Antara rumah yang satu dengan yang
lainnya tidak tertata rapih dan jarak yang satu dengan yang lainnya agak
berjauhan.
Warga Kampung Adat Keputihan sedang Bersantai di Depan Rumahnya
Posisi rumah mengarah ke Selatan dan bagian
belakangnya ke arah Utara atau boleh juga mengarah ke Utara. Sedangkan
posisi sumur dan tempat mandi harus ada di sebelah kanan agak ke
belakang. Jika posisi sumur di sebelah kiri rumah dianggap ‘sama dengan
makan bangkai’. Kalaupun ada bangunan kamar mandi di sebelah kiri rumah,
itu hanya difungsikan sebagai tempat untuk mencuci dan mandi.(Diambil dari berbagai sumber).
Cerita ngawurr !!!
BalasHapus